animasi-remaja-muslim
lintasgayo.com

“Kamu tidak ke masjid, Tik?”

“Enggak, Bu. Banyak tugas nih.”

Ibu berjalan mendekatiku yang masih sibuk berkutat dengan laptop.

“Ibu senang kamu serius dengan kuliah, Nak. Tapi jangan lupa bersosialisasi.”

Kuhentikan semua aktifitasku. Aku memang melupakan hal itu. Lebih tepatnya berusaha tidak peduli. Menulikan telinga ketika panggilan dari toa masjid berbunyi nyaring. Pura-pura tak melihat saat mayoritas tetangga tengah kerja bakti. Tak berpartisipasi pula dalam kegiatan masjid. Aku memang bukan warga kampung yang baik.

Aku bukan tidak mau berpartisipasi. Aku hanya memerlukan alasan. Alasan kenapa aku harus ikut kegiatan itu. Alasan yang aku maksud tentu alasan yang membuatku bahagia. Alasan yang membuatku mau terlibat tanpa paksaan. Alasan yang membuatku mau ikut dengan hati yang ringan. Alasan yang lebih kuat dari pada sebuah rasa sakit hati.

Ingatanku berputar pada bulan Ramadhan dua tahun yang lalu. Kami tengah bersiap-siap latihan untuk lomba takbir. Semua sudah siap pada tempatnya, termasuk aku. Aku sudah memosisikan diri di barisan palong belakang.

Dipimpin oleh seorang mayoret, kami melakukan gerakan-gerakan indah dan harmonis. Tak lupa kami melantunkan takbir tiada henti. Kami melakukannya dengan semangat. Tentu saja. Harapan kami akan mendapat juara sangat tinggi. Kami sudah rindu dengan trophi juara umum yang sudah lama tak singgah di masjid kami. Tak ayal bila kami sudah mulai latihan sejak dua minggu sebelum bulan puasa dimulai.

“Tika, gerakanmu beda sendiri. Cobalah ikuti gerakan teman yang lain,” salah seorang panitia persiapan lomba takbir menegurku.

“Kalian boleh istirahat sebentar. Sepuluh menit lagi dimulai. Buat Tika, tolong berusaha lebih keras. Waktu latihan kita tinggal 3 hari tapi kamu belum ada kemajuan sama sekali.” Lanjutnya.

Aku kembali mengulang gerakan itu hingga lancar. Butuh waktu yang sangat lama. Dibantu dengan salah seorang panitia, aku meluweskan gerakan. Tapi sulit! Tubuhku seolah tercipta kaku, sehingga untuk melakukan gerakan ringan seperti ini saja tidak bisa.

Aku mendesah lelah. Ini mungkin sudah kelimabelas kali aku mengulang gerakannya. Panitia yang membimbingku pun seolah sudah lelah. Ia mundur teratur, kemudian pergi. Aku menunduk.

Mungkin sebaiknya aku tidak ikut bila hanya menyusahkan seperti ini. Aku sudah berusaha, tapi ini kemampuan maksimalku. Aku tidak bisa seluwes teman-teman yang lain. Bahkan aku sendiri saja sudah lelah belajar sendiri.

Latihan dimulai lagi. Aku membuat kesalahan lagi. Aku ditegur lagi. Aku ditatap kesal sekaligus kasihan lagi. Latihan berhenti lagi. Tidak ada yang mau mengajariku lagi. Aku malu dilibentak di depan teman-Lagi, aku sedih sekali.

“Mungkin kalian sudah lelah. Sekarang kalian boleh pulang. Istirahat yang cukup. Saya harap besok kalian sudah hafal gerakannya.”

Latihan disudahi. Sekarang saatnya pulang. Yey! Aku bisa membaca novelku yang tadi sempat aku tinggalkan. Namun ketika aku berbalik pulang, salah seorang panitia memanggilku kemudian memintaku membantu membungkus zakat. Dengan senang hati aku ikut membantu.

Akan tetapi semua harapanku tentang sesi membungkus beras zakat ini luntur. Semua yang ada di sana tertawa riang, kecuali aku. Aku seperti tak dianggap. Aku yang pendiam ini tidak bisa memasuki arah pembicaraan mereka. Aku terasingkan. Aku seperti batu kecil, hitam, dan tak berguna di pinggir sungai. Bahkan sejak aku duduk di ruang zakat ini, belum ada yang mengajakku bicara. Semua sibuk dengan obrolan mereka, hingga terciptalah dua dunia. Dunia mereka yang penuh tawa dan duniaku yang tanpa canda. Lalu kenapa tadi mengajaku?

Aku merutuki diri. Kenapa aku tidak menolak ketika diajak? Kenapa aku tidak bisa mengikuti arah pembicaraan mereka? Kenapa aku seperti orang bodoh di sini?

Semenjak itu aku tidak mau lagi ikut acara di kampungku. Aku merasa sendiri. Aku merasa mereka tidak mau berkawan padaku. Aku merasa memang aku tidak cocok dengan mereka. Lebih baik duduk manis di rumah ditemani secangkir teh hangat daripada menyiksa batin dengan melakukan hal yang tidak membuatku bahagia.

“Tik, kamu dengar Ibu?”

“Hah? Apa, Bu?” Aku gelagapan. Tak sadar ternyata sejak tadi melamun.

“Nanti ada pengajian sebelum buka puasa di masjid. Tika mau ikut?”

“Tidak, Bu. Tika di rumah saja. Maaf ya, Bu.”

“Tak apa. Jangan lupa nanti shalat tarawih di masjid yah. Kemarin kamu ditanyakan Selvi karena sudah lama tidak kelihatan,”

Aku tersenyum. Selvi, panitia yang dulu selalu menegurku saat aku salah gerakan sekaligus orang yang mengajakku membungkus beras zakat. Apakah ia tulus mencariku untuk maksud baik? Atau… hanya sebagai pelampiasannya ketika sedang kesal?

Selesai

 

Jogja, 20170529 – 07.28