Mbah Kakung-iloveimg-compressed

Masa kecil adalah masa-masa indah tanpa beban yang berarti. Bahagianya berlarian ke sana kemari dan tertawa bersama teman atau menangis karena berebut mainan. Ketika melakukan kesalahan, ibu tak akan marah besar, karena mengerti bahwa saya masih kecil, belum tahu apa-apa. Saat tidur tiba dinyanyikan lagu atau dongeng favorit yang menenangkan. Wah, indahnya masa kecil!

Kalau ditanya tentang kenangan masa kecil paling melekat pada ingatan, maka akan saya jawab kenangan bersama Mbah Kakung. Saat masih TK, saya selalu dijemput oleh Kakung memakai sepeda ontelnya. Dijalan, Kakung selalu bertanya tentang cerita di sekolah hari itu. Sepanjang perjalanan, saya selalu bercerita singkat dengan semangat. Wah, seru sekali.

Saya merasa spesial diantara semua cucu Mbah Kakung dan Mbah Ibu. Seluruh cucu mereka saat masih TK, diantar jemput oleh Mbah Ibu, kecuali saya. Saya nggak tahu alasannya, bahkan sampai sekarang. Yang saya tahu bahwa, saya memang merasa lebih dekat dengan Mbah Kakung dari pada Mbah Ibu. Saya sendiri nggak tahu apa penyebabnya.

Saya masih ingat ketika sepulang sekolah langsung main ke rumah Kakung. Sebelum itu, saya makan bersama sepupu di sana. Di sana ada banyak pilihan lauk. Namun kami aneh. Kami malah makan dengan begitu sederhana. Makanan kami hanya nasi diberi garam plus kerupuk. Tapi itu sangat nikmat rasanya. Saya sering nambah nasi, loh. Anehnya, bila saya makan nasi hanya dengan garam sendirian, nikmatnya berbeda. Jangankan nambah, saya menghabiskan nasi yang diambil saja sudah alhamdulillah. Karena itu, saya hanya makan nasi garam kerupuk di tempat Kakung.

Setelah kenyang makan, kami bermain di selatan rumah Kakung yang berupa lapangan yang seluas lapangan badminton. Kami menghabiskan siang sampai sore di sana. Kami bermain petak umpet, jamuran, kasti, badminton, boimen, dan masih banyak lagi. Saya masih ingat bagaimana jeritan kami dulu ketika menghindari bola kasti. Saya juga masih ingat, dulu saat bermain kasti, saya selalu jaga di belakang pemukul. Saya juga masih ingat dulu kami begitu akrab, saling bercanda, dan tak malu-malu.

Sementara kami bermain, Mbah Kakung dan Mbah Ibu kadang mengobrol sambil menonton kami dari teras atau pintu selatan. Mereka ikut berteriak ketika suasana sedang seru-serunya. Ditemani sepiring gorengan dan segelas teh hangat, mereka seperti menonton pertandingan para profesional di televisi. Tapi itu terjadi nggak mesti setahun sekali, haha. Lebih sering Mbah ibu bersama ibu, bulik, dan budhe sibuk ngobrol di teras dekat lapangan. Sedangkan Mbah Kakung nonton televisi.

Masa-masa itu begitu menggembirakan. Masa kecil hingga saya hampir kelas enam SD. Selepas SD, semuanya berubah. Bukan. Saya yang berubah. Saya merasa ada medan magnet di sekitar rumah yang membuat saya selalu tertarik untuk masuk ke rumah. Saya menghabiskan waktu di rumah, bermain sendiri, dan belajar. Sementara itu, telinga saya mendengar teriakan sepupu dan teman-teman yang tetap bermain kasti di rumah Kakung. Dorongan untuk ikut bermain sangat kuat. Saya ingin. Tapi tidak bisa. Saya sudah kelas enam. Belajar pasti akan membuat semuanya lebih baik.

Sejak itulah saya mulai jarang ke rumah Kakung. Saya ke sana hanya saat ada perlu saja. Apalagi saat SMP, wah, sudah jarang banget. Malah sering Kakung dan Mbah Ibu yang main ke rumah saya. Saya memang cucu nggak tahu diri. Canggung. Kami jadi canggung untuk sekadar basa basi. Padahal dulu saya paling sering pamer nilai rapot dan nilai bahasa Inggris pada Kakung. Tapi sejak saat itu, entahlah, ada jarak yang cukup lebar di antara kami. Sedihnya, saya paham bahwa saya lah yang menciptakan jarak itu.

Yang lebih sedih lagi, sekarang saya berkomunikasi dengan Kakung saja susah. Kakung sakit. Kakung semakin tua, giginya juga tak utuh lagi seperti dulu. Kakung tidak bisa dengan mudah diajak berinteraksi. Menyesal? Yah. Kenapa saya nggak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya saat masih kecil? Sesal sekarang tiada guna. Sekarang, yang paling penting adalah tetap berdoa yang terbaik untuk Kakung.